Kisah Yogi Tyandaru, Konsep Ibadah dan Dagang

Jika menanam padi, maka rumput pasti ikut tumbuh. Namun jika menanam rumput, maka jangan harap padi akan ikut tumbuh. Perumpaan itu pas dilekatkan pada roda usaha yang dijalankan pemilik jaringan pasar swalayan Fajar Toserba, Yogi Tyandaru. Dalam menjalankan usahanya, dia lebih mengedepankan ibadah dibandingkan pencarian laba. Hasilnya, usahanya berkembang pesat. Tak hanya berperan dalam dakwah untuk mendekatkan diri dan masyarakat pada Allah, usahanya juga mendatangkan keuntungan berlipat ganda.

Yogi bercerita, Fajar Toserba sebenarnya dirintis pertama kali oleh ayah mertuanya, H Jana. Kala itu, sang ayah mertua menjadi pedagang rokok keliling selama 11 tahun di Jakarta. Dari usaha menjajakan rokok, mulai dari Tanah Abang, Mangga Dua, dan Pasar Pagi, ayah mertuanya jadi tahu pusat penjualan berbagai macam barang. Seperti misalnya sepatu, pakaian, maupun ikat pinggang.

Dengan bekal ilmu itu, H Jana mendirikan toko kecil di rumahnya di Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan pada 1997. Semakin hari, usahanya semakin berkembang. Dia pun membuka toko lagi di pasar Kramat Mulya dan di Jalan Raya Jalaksana. Toko di Jalaksana inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Fajar Toserba.

Yogi baru memasuki kehidupan H Jana saat menikah dengan putri tunggalnya pada 2001. Saat itu, dia diminta oleh ayah mertuanya untuk membantu mengembangkan Fajar Toserba. Namun, lulusan Fikom Unisba Bandung itu menolaknya. Jiwa jurnalisnya yang gemar berpetualang membuatnya lebih memilih tetap bekerja dan tinggal di Jakarta.

Namun, Jakarta ternyata bukan tempat terbaik untuknya. Buktinya, Yogi tergolek sakit hingga dua tahun lamanya. Berbagai upaya pengobatan tak jua membuahkan kesembuhan. Dia kemudian berusaha introspeksi mengenai dosa dan kesalahannya, terutama pada orang tua. Dia ingat, pernah menolak permintaan mertuanya yang menghendakinya pulang guna membantu mengembangkan usaha Fajar Toserba. ‘’Saya akhirnya sadar dan minta maaf pada ayah mertua,’’ tutur Yogi,
Ternyata, kesediaannya mengikuti keinginan sang ayah mertua adalah keputusan yang tepat. Buktinya, sakit yang dideritanya selama dua tahun langsung sembuh. Dia akhirnya terjun mengikuti usaha ayah mertuanya.

Namun, meski berstatus sebagai menantu pemilik Fajar Toserba, tak membuat Yogi langsung menduduki tampuk kepemimpinan. Ayah mertuanya justru mendidiknya dari level terbawah. Saat itu, dia ditugaskan menjadi petugas cleaning service di Fajar Toserba. ‘’Coba bayangkan, lulusan sarjana jadi cleaning service,’’ kata Yogi.

Ia ditempatkan sebagai petugas penitipan barang. Di pos barunya itu, dia sering menjadi sasaran kemarahan pengunjung yang tersinggung jika harus menitipkan barang.cTak berhenti sampai disitu, ‘karier’ Yogi terus meningkat. Silih berganti dia merasakan berbagai posisi pekerjaan di toserba milik ayah mertuanya. Mulai dari pelayan toko, sopir pengangkut barang, petugas input data, hingga kasir. Meski merasa perih dan sempat berburuk sangka terhadap perlakuan ayah mertuanya, dia tetap menjalani semua itu. Yogi akhirnya sadar, ada makna besar dibalik perlakuan yang diterimanya. Ayah mertuanya tidak ingin dia menjalankan usaha itu secara instan. Karena salah satu kelemahan pribumi yang terjadi selama ini adalah kegagalan saat regenerasi. Biasanya, generasi pertama yang merintis dan mengembangkan usaha, generasi kedua justru yang menghancurkan.

Setelah merasakan berbagai posisi yang ada di Fajar Toserba, Yogi akhirnya mendapat kepercayaan ayah mertuanya. Dia diberi proyek besar senilai Rp 8,9 miliar untuk membuka cabang Fajar Toserba di daerah Luragung, Kabupaten Kuningan. Dengan luas tanah dua hektare dan bangunan seluas 5.000 meter persegi, Yogi diharuskan membuka toserba sendiri. Padahal, dia tidak memiliki pengalaman bikin toko. Dia pun harus mengalami susahnya menghadapi birokrasi dan pejabat, termasuk preman yang tinggal di wilayah tokonya. ‘’Bapak sengaja tidak memberi tahu trik-triknya, saya diharuskan menjalaninya sendiri,’’ kata Yogi.

Namun, dari beragam kesulitan itu, Yogi akhirnya punya pengalaman membuat toko. Bahkan, Fajar Toserba saat ini sudah memiliki 15 cabang dan 400 orang karyawan yang tersebar di wilayah Kuningan dan sekitarnya. Sekitar dua atau tiga tahun mendatang, dia akan menerapkan sistem franchise.
Menurut Yogi dalam mengembangkan Fajar Group, ada tiga konsep yang sejak dulu diterapkan ayah mertuanya. Yakni, pengembangan wilayah dan pembangunan daerah, dakwah dan ibadah, serta profit. Ketiga konsep itu sangat jauh berbeda dengan konsep yang dikembangkan para pelaku bisnis ritel lainnya.
‘’Kreatifnya kami ya disitu,’’ ujar Yogi.

Untuk pengembangan wilayah dan pembangunan daerah, konsep yang diterapkan Fajar Toserba meniru ‘samudera biru’ yang luas. Maksudnya, mendirikan sebuah toserba tidak harus di tengah kota. Selain sesak, juga menimbulkan kemacetan. Karena itu, pengembangan Fajar Toserba selalu di pinggir kota.Namun, sebelum mendirikan toserba, hal pertama yang dibangun terlebih dulu adalah masjid. Setelah itu, mendatangkan ustadz untuk mengajari masyarakat di sekitarnya mengenai agama. Tak lupa, dibangun pula kios-kios kecil yang disewakan dengan harga murah kepada masyarakat setempat. Para penyewa kios pun dijadikan sebagai mitra. Karenanya, pengembangan Fajar Group tidak akan membuat warung-warung kecil gulung tikar. Justru sebaliknya. Daerah yang sepi menjadi berkembang. Di saat itulah, baru Fajar Toserba kemudian didirikan. ‘’Dengan menerapkan ketiga konsep itu, maka dimanapun ada Fajar Toserba, maka daerah yang sepi akhirnya jadi kota kecamatan yang ramai,’’ tegas Yogi.

Untuk menjaring konsumen, Yogi pun membidik masyarakat menengah ke bawah. Dengan demikian, masyarakat kecil yang hanya memakai sandal jepit dan turun darii angkot pun tidak malu belanja di Fajar Toserba. Yogi pun membiasakan pengamalan ibadah dalam kehidupan sehari-hari kepada para karyawannya. Namun, caranya bukan dengan perintah lisan. Berbagai amalan ibadah, dia contohkan secara langsung dalam bentuk tindakan nyata. Misalnya, setiap adzan solat berkumandang, dia akan berhenti beraktifitas dan bergegas menuju masjid untuk solat berjamaah. Melihat hal itu, karyawannya secara otomatis akan ikut serta.

Meski kini telah mereguk keberhasilan, namun Yogi merasa itu bukan semata-mata karena perannya. Menurut dia, pembuka keberhasilannya yang pertama adalah rido Allah. Dia menilai, usahanya dalam mengembangkan Fajar Toserba hanya bernilai 10 persen. Sedangkan 90 persen lainnya, adalah pertolongan dari Allah. ‘’Selalu ada intervensi dari Allah sehingga bisa berhasil,’’ tegas Yogi.

Yogi mengaku, bisnis ritel yang digelutinya selalu memiliki masa surut. Setiap tahun, masa surutnya mencapai tiga sampai empat bulan. Namun, hal itu diatasinya dengan cara berhemat di saat masa-masa ramai, yakni lebaran dan liburan.

Tak hanya mengalami masa surut, bisnis ritel juga mendatangkan persaingan yang sangat keras. Namun, untuk menghadapinya, Yogi memiliki lima strategi. Pertama, menyediakan berbagai kelengkapan barang yang dibutuhkan masyarakat sekitar. Bahkan, dia menyediakan catatan kepada konsumen mengenai barang-barang yang mereka butuhkan. Tak hanya itu, barang-barang yang dijualnya pun 90 persen adalah produk lokal.

Strategi kedua, menerapkan harga bersaing. Jika ingin memberikan diskon, maka akan langsung diberikan tanpa terlebih dulu menaikan harganya terlebih dulu. Ketiga, display toserba yang menarik. Keempat, tecnology sevice dan human service. Semua karyawan Fajar Toserba, diajarkan untuk selalu akrab, ramah, dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen. Kelima, kebersihan dan kenyamanan. ‘’Maju dan mundurnya usaha sudah ditentukan Allah. Kita hanya tinggal berusaha saja supaya tidak tertinggal.’’

sumber : REPUBLIKA.CO.ID

Ical Bakrie: Saya Pernah Lebih Miskin dari Pengemis !

Selama ini banyak orang bertanya kepada saya bagaimana rahasianya menjadi pengusaha yang sukses. Mereka berharap saya bersedia membagi pengalaman dan kiat-kiat berusaha supaya sukses.

Bagi saya, membagi pengalaman kepada orang lain menyenangkan, apalagi bila pengalaman saya tersebut bermanfaat.

Senin 5 April lalu, saya diundang oleh Universitas Islam As Syafiiyah, Jakarta, untuk membagi pengalaman. Dalam acara bertajuk “Studium Generale Kewirausahaan” itu saya diminta memberikan ceramah mengenai kewirausahaan dan kiat sukses berbisnis.

Kepada para mahasiswa saya katakan untuk sukses berbisnis kita tidak bisa hanya belajar di bangku kuliah saja. Bangku kuliah hanya mengajarkan dasar dan teori. Sisanya kita belajar kepada mereka yang telah berhasil. Orang itu tidak harus S3 untuk menjadi pengusaha. Bisa jadi hanya S1 seperti saya, bahkan ada yang tidak memiliki ijasah.

Apa langkah pertama yang harus dilakukan untuk memulai usaha dan menggapai kesuksesan? Jawabannya adalah mimpi. Kita harus berani bermimpi menjadi orang yang sukses. Sejarah juga membuktikan banyak temuan hebat dan orang sukses dimulai dari sebuah mimpi. Kalau anda bermimpi saja tidak berani, ngapain membuka usaha.

Tentu saja tidak hanya berhenti sekedar mimpi untuk mencapai sukses. Setelah mimpi anda bangun, lalu pikirkanlah mimpi anda. Berfikirlah yang besar. Seperti kata miliarder Amerika Donald Trump; if you think, think big. Pikir yang besar, pikir jadi presiden, jangan pikir yang kecil-kecil.

Setelah itu anda buat rencana, buat rincian, dan bentuk sebuah tabel. Terakhir, yang paling penting, segera jalankan rencana tersebut. Jika anda bertanya perlukah berdoa? saya katakan berdoa itu perlu (baca : sangat penting). Tapi perencanaan juga perlu. Doa saja tanpa perencanaan saya rasa tidak akan berhasil.

Dulu waktu masih kuliah, saya biasa membuat perencanaan dan membagi waktu. Saya bangun sholat Subuh, lalu latihan karate, setelah itu tidur lagi sampai pukul 10. Baru pukul 11 belajar.

Intinya dengan perencanaan, masalah akan terselesaikan dengan baik. Sekarang juga begitu, saya bagi waktu untuk partai dan lainnya. Pukul sekian seminar, pukul sekian jadi pembicara, pukul sekian… Kadang 10 masalah bisa saya selesaikan sehari.

Keluhan paling sering dilontarkan orang yang tidak berani berusaha adalah tidak mempunyai modal atau dana. Banyak juga yang berkata saya bisa sukses karena ayah saya pengusaha. Itu salah besar. Saat memulai usaha saya tidak mempunyai uang.

Saat akan membeli Kaltim Prima Coal (KPC) saya juga tidak memiliki dana. Caranya saya datangi calon kontraktor dan tawarkan kerjasama yang menguntungkan dia, tapi saratnya dia pinjami saya dana. Saya juga mendatangi bank dan berkata demikian. Lalu dari uang yang dipinjamkan itu, saya membeli KPC dan sekarang menjadi perusahaan besar.

Jangan pernah bicara tidak punya dana. Uang datang jika ada ide besar atau ada proyek yang visible. Bill Gates juga tidak mempunyai uang, tapi dia mempunyai ide bagus. Dia tidak lulus kuliah, dia bukan anak orang kaya, tapi dari garasinya dia bisa membuat Microsoft jadi perusahaan besar.

Maka pikirkan ide yang bagus, lalu anda cari partner yang punya uang. Yakinkan dia dan berkerjasamalah dengan dia. Jika dalam kerjasama partner anda meminta keuntungan lebih besar, jangan persoalkan.

Misal semua ide dari anda tapi anda hanya dapat 10%, itu tidak masalah. Sebab 10% itu masih untung dari pada anda tidak jadi bekerjasama dan hanya dapat nol %. Jangan lihat kantong orang, jangan lihat untung orang, lihat kantong kita ada penambahan atau tidak.

Setelah anda menjalani usaha, suatu saat anda pasti akan menghadapi masalah. Hadapi saja masalah itu, karena masalah adalah bagian dari hidup yang akan terus datang. Saya sendiri juga pernah menghadapi masalah saat krisis ekonomi 1997-1998. Saat itu keadaan perekonomian sulit, semua pengusaha dan perusahaan juga sulit.

Saat itu saya jatuh miskin. Bahkan saya jauh lebih miskin dari pengemis. Ini karena saya memiliki hutang yang sangat besar. Hutang saya saat itu sekitar USD 1 miliar. Di saat yang sulit ini biasanya sahabat-sahabat kita, rekan-rekan kita semua lari.

Karena itu di saat yang sulit ini, kita tidak boleh memperlihatkan kita sedang terpuruk. Jangan perlihatkan kita sedang gelap. Seperti yang diajarkan ayah saya Achmad Bakrie; jangan biarkan dirimu di tempat yang gelap, karena di tempat yang gelap bayangan pun akan meninggalkanmu.

Maka saat susah itu saya tetap tegar dan tidak menunjukkan keterpurukan. Bahkan saya terpilih jadi ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) untuk yang kedua kalinya. Kalau saat itu saya tunjukkan keterpurukan, mana mau mereka memilih saya.

Tapi yang penting setelah kita terpuruk, kita harus bangkit kembali. Kalau saat itu saya tidak bangkit, maka tidak bisa saya seperti saat ini. Saya berprinsip hadapi saja masalah, jangan lari. Banyak usaha yang saya lakukan, misalnya melepas saham keluarga dari 55% jadi tinggal 2,5%. Saya juga mencari pinjaman sana-sini.

Akhirnya dengan usaha keras pada tahun 2001 saya bisa bangkit kembali dan hutang saya bisa dilunasi dan bisnis saya membaik kembali.

Itulah pengalaman saya selama ini. Saya berharap bisa menjadi ilmu yang berguna. Papatah mengatakan pengalaman adalah guru yang paling baik. Sebagai penutup saya ingin bercerita mengenai kisah telur Colombus. Suatu saat Colombus menantang orang-orang untuk membuat telur bisa berdiri.

Saat itu tidak ada satupun orang yang bisa membuat telur berdiri. Kemudian Colombus memberi contoh cara membuat telur berdiri dengan memecahkan bagian bawahnya. Lalu orang-orang berkata; ah, kalau begitu caranya saya juga bisa.

Nah, saya ingin menjadi Colombus. Saya tunjukkan caranya, lalu anda mengatakan; kalau begitu saya juga bisa. Kemudian anda memulai usaha dan menjadi berhasil dan sukses. Saya senang kalau anda sukses, karena semakin banyak orang sukses, semakin maju bangsa ini.

Bagaimana tanggapan anda tentang kisah pengusaha sukses Indonesia diatas, om Ical Bakrie?

sumber : www.icalbakrie.com

Berkembang dengan Franchise

Baru saja saya membuka cabang Primagama dengan sistem frainchise di tiga kota, yaitu Pekanbaru, Sampit-Kalimantan Tengah, dan Tangerang. Sebelumnya cabang yang ada selama ini kami buka dengan dikelola sendiri. Sistem ini, saya kira sangat tepat untuk kita kembangkan. Di saat ekonomi mulai membaik, usaha kita tetap berkembang meski tidak dengan menyiapkan dana sendiri. Justru dengan sistem frainchise, kita akan mendapatkan dana awal dan royalti.

Franchise adalah pemberian hak pada seseorang dalam penggunaan merek, untuk menjalankan usaha dalam kurun waktu tertentu. Sistem ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan usaha kita dibanding cara yang lainnya. Oleh karena, ketika menggunakan sistem frainchise terhadap usaha kita, maka jelas orang lain membayar merek dan royalti tiap bulannya pada kita. Biayanya lebih rendah daripada cara lainnya, dan kita tak perlu mengalokasikan uang atau modal untuk tempat usaha dan yang lainnya.

Selain, tak perlu merogoh kocek untuk investasi lagi, ternyata keuntungan yang bisa dipetik oleh kita sebagai pemilik merek dari cara berekspansi model ini, cukup besar. Bahkan, kerap kali usaha yang dikelola dengan cara ini lebih maju ketimbang kita membuka cabang sendiri. Ternyata sistem ini, juga lebih mudah segera menciptakan lapangan kerja. Jika kita tahu manfaat sistem ini, mengapa kita tidak berani mengembangkan sistem frainchise dalam bisnis kita agar bisa lebih berkembang?

Merunrut saya, bisnis frainchise cukup menjajikan. Maka, sebelum kita membuat sistem ini, kita harus jeli dan hati-hati dalam menentukan perawalabanya. Dapatkah dia atau perawalaba menjalankan usaha yang kita jalankan? Dapatkah dia memperoleh keuntungan menjalankan usaha kita? Begitu juga lokasi waralaba pun perlu kita cermati. Dapatkah usaha kita sukses di daerah tersebut? Apakah usaha kita menarik orang lain?

Sebagai seorang entrepreneur, saya sendiri melihat sebenarnya begitu banyak produk lokal yang bisa dikembangkan dengan sistem frainchise. Menurut hasil pemantauan Asosiasi Waralaba Indonesia, kini tak kurang dari 292 perusahaan lokal yang menyelenggarakan waralaba.

Saya kira, upaya itu positif. Bahkan, saya punya keyakinan bahwa bisnis waralaba merek lokal akan jauh lebih berkembang, karena sebenarnya begitu besar potensi merek lokal. Misalnya di Yogya: Soto Pak Soleh, Soto Kadipiro, Sate Samirono, Ayam Goreng Ny. Surhati, Bakmi Mbah Mo, Bakmi Kadin, SGPC, dan Bakpia Patuk. Sebenarnya masih banyak produk merek lokal lain yang tidak harus berwujud makanan, yang ternyata sangat memungkinkan juga untuk masuk ke bisnis waralaba.

Jika merek lokal tersebut masuk bisnis waralaba, maka tak mustahil, tak hanya menjadi produk nasional, tapi juga produk global. Hanya saja, kita belum mencobannya. Untuk membantu mengembangkan sistem ini, memang perlu ada semacam lembaga yang mengembangkan atau menyiapkan sistem frainchise mulai dari persiapan awal sampai jadi. Kita bisa sebagai konsultannya atau lembaga yang mengantarkan frainchise.

Ini sebenarnya merupakan peluang bisnis yang menarik kita kembangkan. Hanya saja, hal itu perlu diikuti dengan membuat Standard Operating Procedure (SOP), Guaranteed Income Level, Complete Training & Continued Support, dan lainnya yang merupakan rangkaian dari proses frainchise itu sendiri. Tentu saja, produk yang diwaralabakan itu harus merupakan produk yang disukai atau dibutuhkan oleh pasar.

Cara mengembangkan bisnis dengan melibatkan nama besar sekaligus penularan trik-trik dagang dalam memperoleh keuntungan itu, sekarang memang telah ada. Seperti misalnya, merek lokal Es teller 77, Mie Tek-Tek, dan Ayam Goreng Mbok Berek Ny. Umi. Sementara Mc Donald’s, Pizza Hut, Kentucky Fried Chiken (KFC) dan English First yang merupakan waralaba asing justru telah mendahului dari pada merek lokal dan ternyata produk itu memikat pasar.

Bisnis frainchise ini sebenarnya tak hanya menguntungkan pemilik merek saja, tapi bagi yang menggunakan merek tersebut juga memetik untung cukup besar. Walaupun untuk membeli merek tersebut, kita mesti merogoh kocek yang tidak sedikit, kendati tidak semahal fee frainchise asing. Baik itu, untuk membayar fee fraichise, sarana pendukung plus pelatihan atau training bagi karyawan.

Saya yakin, dana yang dikeluarkan pembeli merek itu akan cepat kembali. Sebab dalam sistem ini, semuanya telah ada hitungannya seacara raisonal. Oleh karena itulah, jika Anda mengembangkan bisnis ke depan, maka cara yang paling cepat dan menguntungkan adalah model frainchise.

sumber : www.purdiechandra.net

Tak Suka Bisnis Besar

Anda penggemar soto? Kalau, ya, pasti Anda telah mengenal atau bahkan lelah menjadi pelanggan tetap Soto Kadipiro, yang terletak di jalan Wates Yogyakarta itu. Di restoran yang didirikan 1921 oleh Pak Karto Wijoyo (alm.), dan sejak 1975 dikelola putra sulungnya, Pak Widadi (60 tahun) sampai sekarang ini, secara terbuka memaparkan tulisan besar pada sebuah papan yang dipasang di restoran tersebut. Isinya, “Tidak buka cabang di Jakarta dan di kota lainnya.”

Menurutnya, ia sengaja tak buka cabang di kota lainnya, meski banyak pihak yang menawarinya kerjasama. Hal itu, katanya, ia ingin hidup tentram dengan bisnisnya sekarang.

Selain itu, ia ingin tetap memegang teguh nasihat orang tuanya, yaitu untuk selalu hidup sederhana, ulet, sabar, jujur, dan bisnis, dan nrimo dengan apa yang diperolehnya sekarang. Maka tak mengherankan, filosofinya berbunyi, “Kamulyaning urip iku, dumunung ono tentreme ati.” artinya, sesungguhnya kebahagian orang hidup itu hanya pada ketentraman hati.

Saya kira, tak sedikit pengusaha atau entrepreneurkita yang justru lebih senang bisnisnya tidak terlalu besar, seperti Pak Widadi dengan Soto Kadipiro-nya. Artinya, dia sama sekali tak suka kalau bisnisnya jadi besar. Karena, dia merasa bisa menikmati asyiknya berbisnis dan merasa tentram. Dan sebenarnya masih banyak contoh pengusaha kita lainnya yang seperti itu.

Contoh ini justru menarik bagi saya. Dan, setelah saya kaji lebih jauh, ternyata sikap mereka tak suka bisnis besar, karena Pertama, mereka masih ada perasaan takut kehilangan suasana kekeluargaan.

Jadi, mereka itu sudah terlanjur kental dengan suasana kekeluargaan seperti itu, apalagi di awal-awal tahun pengembangan bisnisnya. Di mana, dia tahu potensi setiap karyawannya. Bisa bekerja langsung dengan mereka, dan bahkan bisa mengatur operasional kegiatan bisnisnya. Sebab, jika bisnisnya berkembang besar, tentu suasana seperti itu akan berubah. Dia tak lagi bisa langsung bekerja dengan karyawanya. Dan, tentu saja hal ini akan menyulitkan untuk mempertahankan suasana kekeluargaan.

Kedua, mereka lebih senang dengan posisinya sekarang. Bila tetap memegang kendali bisnisnya dan tanpa adanya delegasi. Ketiga, karena mereka lebih senang pada upaya pemberdayaan sumber daya manusianya atau karyawannya, dan bukan pada control.

Tipe pengusaha seperti ini biasanya visinya sederhana. Dan misinya lebih aspek kekeluargaan. Sebab, baginya aspek kesejahteraan yang diinginkannya, dan hal itu bisa dirainya tanpa harus lebih dulu menunggu bisnisnya besar. Sehingga, tidak mengherankan sosok pengusaha seperti ini lebih condong suka memelihara pasar lama, yang dia jadikan sebagai bagian dari sifat kekeluargaan.

Oleh karena itu, agar bisnisnya tetap seperti sekarang, mereka biasanya tak ada keinginan membuka cabang di luar kota, seperti Soto Kadipiro tersebut. Dengan begitu otomatis mengurangi pelanggannya, dan jam operasionalnya. Soto Kadipiro hanya buka pukul 08.00 sampai 14.00 WIB.

Rupanya orang seperti Pak Widadi termasuk orang yang percaya pada Craig J. Cantoni, seorang pakar entrepreneur yang berpendapat, bahwa, “Bisnis besar hanya akan mengurung kita dalam kotak-kotak organisasi sempit dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk kita bisa berekreasi dan meraih kesenangan.”

sumber : www.purdiechandra.net

No Tipping, No Bakpia

2


Soal, tipping atau memberikan tip di hotel tentu bukan hal baru lagi. Telah membudaya. Apalagi, bila kita sebagai tamu hotel, pasti akan tahu dan harus tahu bahwa member tip itu wajib. Kalau tidak, maka bell boy yang semula ramah mengantar kita membawakan barang ke kamar hotel, akan tetap berdiri di pintu kamar. Apalagi, kalau bukan menunggu tip dari kita. Setelah tip diberikan, dia baru pergi.

Barangkali, kejadian yang saya alami kali ini sebaliknya. Saat saya menginap di Hotel Marcopolo, di jalan Cik Ditiro, Jakarta Pusat, semua bell boy maupun karyawan bagian lainnya menolak tip. Bahkan, ketika saya bawa oleh-oleh kue khas Yogya, bakpia, juga ditolak halus. “Maaf pak, kami tidak dapat menerima apa pun dari tamu”, ujar mereka. Manajemen hotel ini rupanya melarang tamunya member tip dalam bentuk apa pun. Bukan hanya no tipping, tapi juga no bakpia.

Hal itu semakin membuat saya merasa enjoy bila menginap disana. Bahkan, saat ada keperluan bisnis yang harus tinggal lama di Jakarta, saya memilih tinggal di Marcopolo tiga bulan lamanya. Sehingga, saya tidak sempat menghitung sudah berapa kali saya menginap di sana. Tapi yang jelas, saya pernah menginap pertama kali di Hotel Marcopolo seajack sepuluh tahun lalu.

Hotel yang accoupancy room-nya rata-rata 90% ini, sampai kini menjadi langanan saya, baik saat ada kepentingan bisnis maupun keluarga di Jakarta. Larangan itu tentu ada maksudnya. “Hotel bagus yang mampu memberikan pelayanan terbaik bagi setiap tamu yang datang”, itulah motto hotel ini yang memang sangat cocok buat keluarga, meski banyak juga kalangan businessman merasakan nyamannya menginap di hotel ini. Pokoknya aman dan nyaman. Tak ada gangguan atau godaan apa pun. Sehingga, setiap tamu yang menginap di hotel ini membuat sang istri di rumah mereka lebih lega.

Manajemen hotel ini sengaja memberikan citra tersendiri pada hotelnya dan secara tidak langsung membentuk citra kharisma tersendiri yang dapat memepersuasi atau mempengaruhi lingkungan beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Maka tak mengherankan, sikap tegas dan disiplin di tegaskan di hotel ini. Bagi karyawan yang diketahui terbukti menerima tip akan dikeluarkan. Ada yang berpendapat, bahwa sikap manajemen seperti ini terkesan arogan, defensif serta kaku.

Namun saya rasa, sikap itu perlu juga untuk citra positif perusahaan. Hanya masalahnya, kalau kondisi ini tidak dipertahankan justru meruapakan boomerang. Sebab, belum tentu semua tamu menanggapi positif secara cepat dan tepat akan masalah ini.

Saya melihat, tampaknya manajemen Hotel Marcopolo mengacu juga pada salah satu jurus seperti yang ada dalm buku, “ siasat bisnis Rupert Murdoch”, yang menyebutkan bahwa selama kita berhati lunak maka kita akan tetap menempati peringkat kedua. Lunak hati akan menuntun sebuah perusahaan pada kesengsaraan. Maka tak mengherankan, Marcopolo mengatur karyawannya dengan sikap tegas dan disiplin. Tidak ada konsep tengah baginya. Pilihannya hanya sedikit. Kinerja karyawan mau bagus atau dipecat!

Selain itu, ada budaya kerja lain yang saya kagumi di hotel ini, yakni: Pertama, cirri khas pelayanan. Di mana segala fasilitas yang disediakan pada kondisi ready. Sehingga kita tak diberi kesempatan complaint. Kedua, harga bersaing mulai dari sewa kamar, restoran dan drugstore, makan pagi (breakfast) di kamar dan untuk makan malam (dinner) dengan perasmanan lengkap, kita hanya membayar harga yang sangat murah yang sulit kita temui di Jakarta. Drugstore-nya yang mirip mini market mungkin merupakan drugstore terbesar dan termurah di Jakarta.

Saya sempat merenungkan observasi ini. Tibalah pada hipotesa saya yang mungkin dapat diakui atau diterima semua pihak, bahwa salah satu kunci sukses meraup banyak tamu adalah karena kejeliannya menaruh kepentingan tamu di tempat pertama dan menaruh kepentingan manajemen Marcopolo sendiri di tempat kedua. Artinya, tamu tidak akan termotivasi menginap di sana kalau kepentingannya diposisikan di tempat kedua.

Sehingga tak meherankan, semua energi karyawan Marcopolo dipusatkan pada kepentingan tamu, sehingga tamu merasa seperti di rumah sendiri. Mereka yakin hal itu akan membuat citra harum bagi hotel berbintang dua tersebut.

sumber : www.purdiechandra.net

Bisnis Bakmi Mbah Mo


Anda penggemar bakmi godhog (rebus) khas Yogya? Bila ya, pasti pernah mencicipi bakmi godhong mbah mo di Dusun Code, tiga kilometer arah timur kota Bantul Yogyakarta, atau kurang lebih 15 kilometer arah selatan kota Yogya.

Mbah mo nama panggilan Mbah Atmo, juga berfungsi sebagai “merek dagang” dari jasa, produk, sekaligus warungnya. Ia membuka dagangannya mulai pukul 5 sore hingga pukul 10 malam. Ingin tahu siapa pelanggannya? Sebagai gambaran 90% pelanggannya datang dari Yogyakarta, Magelang, Klaten, bahkan Jakarta. Kebanyakan pelanggannya mengunakan roda empat.

Berbagai merek mobil dari yang mewah hingga mobil kuno, parkir berderet-deret di depan “outlet-nya” silih bergantian. Saya sempat heran siapa dan apa yang mereka tahu ada “bakmi super enak” di tengah perkampungan pedesaan ini. Padahal untuk menjangkau tempat ini, harus dilalui ruas jalan yang tidak lebar dan tidak begitu bagus.

Pada sebuah gang di Dusun Code yang belum beraspal itu, semua pelanggan datang untuk mencoba atau membebaskan “rasa kangennya” terhadap bakmi buatan Mbah Mo, yang menurut saya memiliki khas yang special bagaikan koki hotel berbintang itu, merupakan jasa sekaligus produk yang memilki kelebihan disbanding produk sejenis (defential advantage). Hal itu masih ditambah lagi dengan kemasan suasana (atmosphere) pedesaan yang “ngangeni”.

Menurut Mbah Mo, promosi pun tak pernah ia lakukan. Saya kira proses yang terjadi adalah pemasaran tradisional dari mulut ke mulut (word by mout) alias getok tular, tentunya “kesadaran” Mbah Mo, bahwa karena itulah setiap malamnya, Mbah Mo mengais omzet dengan menghabiskan 10 kilometer, dan 10 ekor ayam.

Bisnis Mbah Mo dirintis sejak 1986. Memang, bertahun-tahun sebelumnya Mbah Mo pernah berjualan pecel dengan konsumen tetangga dan warga sekitar. Untuk terjun ke bisnis barunya ini, Mbah Mo harus melakukan magang atau mentoring, guna menimba pengalaman membuat bakmi. Orang yang dijadikan mentor untuk membuat bakmi yang lezat adalah kakak iparnya sendiri, yang juga berjualan bakmi dan tinggal di Yogyakarta.

Pengalaman Mbah Mo yang mendapat mentoring dari kakak iparnya ini, mengingatkan saya pada apa yang dikatakan Steven R. Covey, bunyinya: “Kalau Anda memberikan ikan pada seseorang, berarti Anda memberi makan sehari. Kalau Anda memberi pancing pada seseorang, berarti Anda memberi makan seumur hidup.”

Pandangan Covey ini oleh rekannya, Raymond W.Y. Kao, dikembangkan menjadi: “Seandainya Anda member pancing, kemudian mendidik cara memancing, dan sekaligus menanamkan tanggung jawab moral, maka Anda berarti ikut membangun suatu Negara.”

Saya melihat, ternyata tradisi mentoring merupakan cara ampuh untuk alih pengetahuan, alih keterampilan, sekaligus transfer budaya, dan etos kerja entrepreneur. Seperti halnya Mba Mo, tradisi mentoring sebenarnya dapat dikembangkan dalam masyarakat, bila kita ingin melahirkan lebih banyak lagi wirausahawan baru dalam masyarakat.

sumber : www.purdiechandra.net

Hutang Berlipat, Kekayaan Meningkat


miming p

Miming Pandai mengelola hutang baiknya sehingga omset perusahaannya mencapai puluhan miliar hanya dalam waktu dua tahun. Bagaimana?

Perasaan apa yang dialami oleh seseorang ketika ber hutang pada bank? Malukah atau merasa khawatir tidak mampu membayar angsuran? Kedua perasaan itu pernah saya alami dua setengah tahun yang lalu, kenang Miming Pangarah, pemilik perusahaan percetakan asal Bandung, Indoprint. Bila sekarang, berapa pun besarnya jumlah hutang yang di tawarkan pasti saya akan ambil, tukasnya. Pada tahun 2002 Miming hanyalah pengusaha biasa dan belum dikenal sukses seperti sekarang.

Baru setelah dia mendapatkan berkah dari ‘bermain hutang bank’ namanya berkibar khususnya di kalangan komunitas Entreprenur University (EU). Saya belajar bagaimana caranya agar uang dapat bekerja untuk kita, ungkapnya. Sebelum ini, saya hanya mempunyai hutang sekian puluh juta, dan pada waktu itu saya hanya berfikir bagaimana caranya agar hutang saya lunas. Saya berbuat bagaimana menutupi hutang, ternyata itu adalah cara yang salah! katanya.

Belajar dari pentolan EU, yakni Purdi E Chandra, ia baru paham di dalam menjalankan bisnis yang lebih tepat adalah bukan berusaha bagaimana agar hutang-hutang menjadi lunas, tetapi sebaliknya adalah bagaimana agar bisa mendapatkan hutang lebih besar dari utang tersebut. Maka ketika dia hanya memiliki hutang kecil, ia mengaku mesti bekerja menjaga toko mati-matian agar bisa menutup tanggungan angsuran bulanan. Kebalikan dengan sekarang, besarnya bunga yang harus saya bayar per bulan kepada bank kira-kira Rp 60 juta, tetapi bukan saya yang membayar, karena keuntungan bisnis yang berjalan itulah yang menutup sendiri, paparnya. Logikanya sederhana. Hitungan kasar bunga bank adalah sekitar 1,5% besarnya tiap bulan. Sedangkan profit yang didapatkan dari bisnis paling tidak adalah 5% dan bisa lebih. Dari situ besar bunga yang mesti ditanggung sudah tertutup masih ditambah sisa keuntungannya. Meski selisih hanya 3,5% itu sudah cukup besar bila dikalikan dengan jumlah hutang sebesar Rp 500 juta, misalnya.

Mengenai resiko kredit macet karena bisnis yang tidak bisa jalan atau merugi Miming menepis bahwa kemungkinan itu kecil terjadi asalkan pengusaha disiplin dalam mengelola manajemen keuangan. Prinsip yang harus dipegang bahwa menggunakan kuncuran kredit untuk keperluan konsumtif adalah tabu dilakukan. Ia mewanti-wanti bila orang sudah mulai berani menggunakan sekian ribu uang dari bank untuk di luar kepentingan bisnis, maka hal sembrono itu akan terus terulang dalam jumlah yang makin membesar. Saya pastikan bahwa dia akan bangkrut, ancamnya. Miming membenarkan bahwa masalah yang kerap dihadapi oleh pelaku usaha tingkat UKM ketika berhubungan dengan bank adalah tidak bisa meyakinkan pihak pemberi utang. Maka sejak awal hendak mengajukan keredit ia telah menerapkan pembukuan yang mengikuti standar berikut neraca dan rekening koran. Laporan ke uangan kita buat bagus sehingga bank percaya sama kita, ujarnya. Soal agunan? Bukan masalah, karena aset yang di miliki itulah yang diagunkan, Sehingga resiko tidak ada, karena paling-paling ruko saya yang diambil, ucapnya enteng.

Saat ini ia mengaku sudah mempunyai lima buah ruko dan sedang membangun pabrik percetakan sendiri, di samping membuka usaha yang lain yaitu beberapa buah salon yang di waralabakan, BPR, usaha sablon, dan juga telah membeli franchise Primagama. Sehingga total asset yang di miliki adalah sekitar Rp 7 miliar yang di capai hanya dalam tempo 2,5 tahun. Sedangkan total kredit mencapai sekitar Rp 3,5 miliar besarnya. Ketika dulu saya takut sama bank, omset bisnis saya kira-kira cuma Rp 150 juta setahun, sekarang ketika saya berani menggunakan hutang bank omset saya sudah di atas 10 miliar setahun, tuturnya mantap. Kredit dalam jumlah besar tentu saja tidak bisa diharapkan dengan serta-merta. Saya juga mulai dari jumlah kecil, ujarnya. Pertamakali mengajukan kredit senilai Rp 30 juta, kemudian meningkat seiring dengan pertambahan aset yang di hasilkan dari kucuran dana sebelumnya. Maka perlu sekali untuk menjaga hubungan baik dengan tidak membuat kesalahan dengan bank, imbuhnya. Meski jaringan usahanya sudah mulai menggurita bukan berarti pembicara aktif EU tersebut mesti sibuk mengurusi bisnis tiap hari. Sebaiknya dia leluasa menjalani aktifitasnya berkeliling sebagai pembicara ke berbagai kota di seluruh Indonesia baik di Jakarta, Cilegon, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Palembang, Padang, Denpasar dan lain-lain. Saya adalah orang yang paling dicari setelah Pak Purdi, katanya. Sedangkan urusan bisnis ia telah mempercayaksan pada SDM yang menangani secara profesional. Saya menerapkan manajemen profesional termasuk untuk menggaji diri saya, tuturnya. Ia ingin meyakinkan bahwa kalau dengan apa yang dilakukannya dia bisa melakukan loncatan seperti sekarang, tentu orang lain akan bisa pula.

Saya hanya ingin merubah pikiran banyak orang bahwa bisnis itu tidak mesti memakai uang, yang penting butuh keberanian, tegasnya. Ditambahkan, Ketika seseorang sudah memiliki niat untuk berbisnis, pikirkan bisnis jenis usahanya dan jalannya. Artinya tidak bisa hanya dengan berangan-angan tetapi sambil diam saja.

Miming adalah Alumni EU Bandung

sumber : www.purdiechandra.net

Saptuari Sugiharto – Kedai Digital


Berbeda dengan generasi akhir 1990-an dan awal 2000-an yang umumnya terjun menjadi wirausahawan karena sulit mencari kerja akibat krisis ekonomi yang tengah melanda, generasi pengusaha muda berumur 20-an tahun saat ini tampak memiliki keyakinan diri yang lebih besar. Mereka sejak semula bersungguh-sungguh ingin menjalani hidup sebagai entrepreneur. Salah satu di antaranya adalah Saptuari Sugiharto. Lelaki berusia 29 tahun itu telah mulai berbisnis kecil-kecilan sejak kuliah di Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada. Tahun ini, ia terpilih sebagai runner-up Wirausahawan Muda Mandiri 2007.

Sejak masuk kampus UGM pada 1998, Saptuari telah mendambakan memiliki usaha sendiri. Sembari kuliah; beberapa usaha dijalaninya; mulai dari menjadi penjaga koperasi mahasiswa, penjual ayam kampung, penjual stiker, hingga sales dari agen kartu Halo Telkomsel. Lalu, pada 2004, ketika bekerja sebagai event organizer di sebuah perusahaan di Yogyakarta, mantan staf marketing Radio Swaragama FM ini terperanjat melihat antusiasme penonton berebut merchandise berlogo atau bergambar para selebriti. “Heran. Kenapa orang-orang begitu bersemangat mendapatkan kaus, pin, atau apa saja milik artis,” katanya. “Padahal, mereka bisa membuat merchandise apa saja sesuai dengan kemauannya.”

Bermula dari rasa heran itu, pada 2005 Saptuari mengambil langkah berani mendirikan Kedai Digital. Perusahaan itu bertujuan memproduksi barang-barang cendera mata (seperti mug, t-shirt, pin, gantungan kunci, mouse pad, foto dan poster keramik, serta banner) dengan hiasan hasil print digital. Waktu itu, ia bermodalkan uang sebanyak Rp28 juta; hasil dari tabungan, menjual motor, dan menggadaikan rumah keluarga.

Butuh waktu enam bulan bagi lelaki kelahiran Yogyakarta itu untuk memulai kegiatan Kedai Digital. Terlebih dahulu, ia mesti mencari mesin digital printing. Ia mendapatkannya (buatan China) di Bandung. Ia juga harus mencari tahu sumber-sumber bahan baku. Kemudian, ia harus mempersiapkan tempat usaha, menyusun konsep produk, dan merekrut para staf. Semuanya dilakukan sendirian.

Bisnisnya berjalan pelan tapi pasti. Ketika usahanya mulai stabil, Saptuari memberanikan diri merekrut desainer dari kampus-kampus seni yang memang tersedia cukup banyak di Yogyakarta. Untuk tenaga marketing, digunakan para mahasiswa dari perguruan tinggi lain yang juga tersebar di kota itu. Target pasar Kedai Digital adalah para mahasiswa. Karenanya, menurut Saptuari, perusahaannya tak boleh main-main soal kualitas. Karena itu, ia mesti menggunakan desainer yang memiliki latar belakang pendidikan formal.

Pada tahun pertama, Kedai Digital telah berhasil meraih penjualan sebesar Rp400 juta. Tahun berikutnya, perolehan bisnis melesat menjadi Rp900 juta. Seiring dengan pertambahan outlet, revenue pada 2007 menembus angka Rp1,5 miliar.

Hingga akhir tahun silam, Kedai Digital telah memiliki delapan gerai di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kedai Supply yang menyediakan bahan baku untuk kebutuhan produksi di seluruh outlet lainnya. Sementara itu, gerai Kedai Printing dikhususkan melayani pesanan produk-produk advertising seperti banner. Di luar Yogyakarta, Saptuari telah memiliki lima outlet lain (di Kebumen, Semarang, Tuban, Pekanbaru, dan Solo) melalui sistem waralaba.

Menurut Nur Alfa Agustina, Kepala Departemen MikroBisnis Group Bank Mandiri (penyelenggara Wirausahawan Muda Mandiri), di antara 500 peserta yang mengikuti lomba, Kedai Digital dinilai inovatif karena merupakan pelopor industri merchandise dengan metode digital printing di wilayah Yogyakarta. Untuk penilaian dari sisi bisnis, Saptuari mendapat nilai lebih karena bukan berasal dari keluarga pengusaha. Pendidikannya pun tak terkait dengan ilmu ekonomi. Lalu, karena melibatkan banyak mahasiswa dalam menggerakkan usahanya dan mengajarkan mereka soal entrepreneurship, lelaki bertubuh kekar itu mendapat nilai yang tinggi dalam penilaian aspek sosial.

Soal yang terakhir itu, Saptuari memang mengajak para pegawainya yang berperilaku baik untuk ikut memiliki saham di outlet-outlet Kedai Digital. Kini, telah empat kedai yang sahamnya ikut dimiliki para pekerja. “Saya tak mau mereka terus-terusan hanya menjadi pekerja. Mereka juga harus menjadi owner,” katanya. Semangat wirausaha telah ikut disebarluaskan.

sumber : http://www.purdiechandra.net

Rangga Umara Bikin Lele Naik Kelas


Berawal saat dirinya di PHK pada tahun 2006 lalu, membuat Rangga Umara (31) terpikir untuk berwirausaha. Ia pun memilih usaha pecel lele yang dinilainya mudah dijalankan. Siapa sangka, dengan melakukan inovasi pada ikan Lele kini Rangga telah memiliki 23 cabang dari Pecel Lele Lela.

“Waktu di PHK, saya berpikir, kalau kerja lagi sama orang ya mungkin akhirnya di PHK lagi. Jadi saya memutuskan untuk membuka usaha saja,” ujar Rangga saat berbincang usai melaunching rumah makan Pecel Lele Lela cabang ke 23 yang berada di Jalan Surya Sumantri Bandung.

Bermodal Rp 3 juta, Rangga membuka usaha pecel lele di daerah Pondok Kelapa Jakarta Timur. Rangga sadar, pemain di bidang kuliner jumlahnya banyak. Akan sulit jika membuka usaha kuliner jika tak memiliki keunikan atau spesifikasi.

“Coba saja lihat pecel lele yang selalu ada dimana-mana. Standarisasinya sama. Dari rodanya, sampai menunya,” katanya.

Menu pecel lele di pinggir jalan pun menurutnya tak setinggi ayam goreng. Penyebab orang tak suka lele menurutnya karena tampilan yang kurang menarik dan asal-usul makanan lele. Hingga akhirnya, dia mencoba berinovasi dengan ikan lele dengan menyajikannya secara berbeda. Diantaranya dengan membuat fillet lele dengan saus kreasinya.

“Saya beri sampel pada pengunjung. Ternyata banyak yang suka,” kata Rangga yang sempat menjadi pekerja media di Bandung itu.

Tak berapa lama, penggemar Lele pun berdatangan dengan sendirinya. Apalagi setelah banyak diliput oleh media elektronik dan tv, semakin banyak saja yang penasaran dengan Pecel Lele Lela. Lela sendiri merupakan akronim dari kata Lebih Laku atau Lebih Laris.

Berbeda dengan pecel lele di pinggiran jalan, Pecel Lele Lela memiliki tempat yang bersih dan nyaman, maka jangan heran kalau harga lele di Pecel Lele Lela juga tak seperti pecel lele di pinggiran. Tapi harga yang harus dibayar rasanya sebanding dengan rasa dan kenyamanan yang didapat.

sumber : http://www.purdiechandra.net

Pramono, Dari Office Boy Jadi Milyader

masmonoIni salah satu kisah Alumni Entrepreneur University Jakarta yang berhasil, dikutip dari Kompas.

Kisah perjalanan hidup A Pramono (34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?

“Kalau cerita saya dibikin sinetron mungkin akan menarik,” kata pria pemilik usaha Ayam Bakar Mas Mono ini ketika bercakap cakap dengan Warta Kota di salah satu kedainya di Jalan Tebet Raya No 57, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Namun, ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.

“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari. Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih tidur,” ujar Pramono.

Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.

Dengan memakai kaus, celana gombrang dan sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran yang bekerja di wilayah tersebut.

“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil memperlihatkan foto lamanya di laptop.

Pria yang menamatkan S3 (maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.

Menurut Pramono, sejak dulu dia suka fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses. Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.

“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat, sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai persis Rp 1 miliar.

Senang Belajar
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan lebih besar.

Pramono benar, karena kariernya terus meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.

Akhirnya, tahun 2001 dia keluar dart perusahaan tersebut dan memulai usaha dengan berjualan gorengan keliling di seputar,wilayah Pancoran, Jakarta Selatan. Langkahnya rada ekstrem. Sebab, bagi Pramono, untuk memulai usaha tidak perlu banyak berpikir, apalagi menghitung rugi laba. Yang terpenting adalah melakukan action.

“Banyak saudara saya yang tidak terima dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.

Meski menghadapi banyak tantangan, Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir. Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.

“Kalau orang lain mungkin sudah mikir macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah, ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.

Terlepas dart peristiwa itu, beberapa tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai 13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono.

sumber : http://www.purdiechandra.net

Hendy Setiono, Bos Kebab Turki

Raih Berkah di Jalur Timur Tengah

Namanya Hendy Setiono, pemuda Alumni Entrepreneur University Surabaya ini masih sangat muda, baru 25 tahun. Tapi, sepak terjang bisnisnya sudah tak diragukan lagi. Kalau Anda menjumpai mobil Nissan X-Trail bernomor polisi K 38 AB di jalanan, itulah mobil Hendi. Pelat nomor seharga Rp 16 juta itulah yang membuat orang mudah mengenali dan menyapanya ketika sedang jalan-jalan dengan mobilnya. “Biasanya tukang parkir menggoda, bayarnya pakai kebab saja,” ujarnya lantas tertawa.

Pelat nomor sengaja dibuat K 38 AB untuk mendekati kata kebab. Berkat kebab inilah, nama Hendi sebagai pengusaha muda sukses, terukir.

Hendy adalah pendiri dan presiden direktur PT Baba Rafi Indonesia. Kebab Turki Baba Rafi adalah hasil inovasi bisnisnya. Dia memulai bisnis itu dengan modal hanya Rp 4 juta. Dia enggan meminta bantuan orang tua. “Itu duit hasil pinjam arek-arek (teman-temannya, Red) dan saudara,” kisahnya.

Outlet makanan ala Timur Tengah itu kini berjumlah 325, membentang dari kawasan superramai seperti Jakarta hingga pelosok Ambon. Ratusan outlet itu dipantau dan disupervisi dari dua kantor operasional di kawasan Nginden, Surabaya, dan Pondok Labu, Jakarta. Tahun lalu omzet usahanya mencapai Rp 45 miliar, dan 25 persen di antaranya masuk kantongnya sebagai laba bersih. “Tahun ini omzetnya saya targetkan Rp 60 miliar,” ujarnya.

Apa yang sudah dipunyai Hendy dari keberhasilannya berbisnis? Hendy tampak agak malu menjawab pertanyaan ini. Sekulum senyum kecil dikeluarkannya. “Apa ya? Ehm, ada beberapa, Mas. Alhamdulillah. Masak disebutkan?” katanya masih diiringi senyum.

hendyboothDia terbatuk sebentar. Agak ragu, tak lama kemudian, Hendy mulai menjawab. “Aset yang pertama saya beli Yamaha Mio,” ujarnya. Dia membeli motor itu beberapa bulan setelah memulai berbisnis. “Ke mana-mana saya pakai motor itu,” tuturnya.

Setahun pertama, Hendi mengaku “hanya” mendapat penghasilan bersih per bulan Rp 20 juta. “Wah, rasanya sudah seneng banget. Baru umur 20 tahun, penghasilan sudah Rp 20 juta sebulan,” ceritanya.

Setelah membeli Yamaha Mio? “Sekarang kasihan motor itu, sudah nggak muat nampung badan saya semakin melar. Jadi, cari motor yang agak gedean, pakai Harley-Davidson,” ujar nominator Asia’s Best Entrepreneur Under 25 versi Majalah BusinessWeek tersebut.

Selain itu, Hendi punya dua rumah; satu di Jakarta dan satu lagi di Surabaya. Di Surabaya, dia membeli rumah di salah satu kawasan elite, Perumahan Bumi Galaxy Permai. Soal rumah yang satu ini, Hendi punya cerita tersendiri. “Ini rumah idaman saya,” tuturnya.

Dulu, cerita Hendi, semasa masih duduk di bangku kuliah di Jurusan Teknik Informatika ITS, setiap pulang dari kampus, Hendi yang kala itu tinggal di Semolowaru, Surabaya, selalu melewati kawasan perumahan itu. Dia sering berhenti sejenak di perumahan elite itu. Saking seringnya mondar-mandir di perumahan itu sepulang dari kampus, dia sampai kenal dengan sejumlah satpam di sana. “Rumahnya besar-besar, megah-megah. Kelak saya ingin punya rumah seperti ini,” tekadnya ketika itu.

Hendi mengaku terkagum-kagum dengan rumah-rumah di kawasan itu. “Bahkan, hujan saja nggak banjir, beda dengan rumah saya. Halaman depannya itu lebih luas daripada rumah saya di Semolowaru,” kisahnya.

Dari proses itulah Hendi yakin bahwa mimpi yang terus disemai akan bisa mewujud jika diiringi pancangan semangat yang kuat untuk mewujudkannya. “Semuanya berangkat dari impian. Alhamdulillah, saya kemarin berangkat ke Jakarta (wawancara dengan Hendi dilakukan di Jakarta beberapa waktu lalu, Red) sudah dari rumah di Galaxy Bumi Permai,” ceritanya. “Kalau saya tidak berani mulai jualan pakai gerobak, semua mimpi itu hanya tinggal mimpi,” imbuhnya.

Dengan segala apa yang dimiliki kini, Hendi lebih leluasa menyalurkan hobinya berjalan-jalan. Setiap mengisi seminar di berbagai kampus di Indonesia, dia selalu menyempatkan diri mengunjungi berbagai tempat wisata. “Saya lebih suka ke tempat wisata yang alami, lihat pantai, lihat hutan,” ujarnya.

Jalan-jalan ke luar negeri juga sudah menjadi rutinitas yang sangat biasa bagi salah satu 10 Tokoh Pilihan 2006 versi majalah Tempo tersebut. “Dulu jalan-jalan ke luar negeri itu jadi mimpi, sesuatu yang wah, seolah nggak terjangkau. Alhamdulillah, sekarang udah sering,” tuturnya.

Hendy tak melupakan sedekah. Dananya secara tetap didonasikan ke tujuh yayasan yatim-piatu. “Saya menyadari sulitnya kehidupan mereka karena orang tua saya juga bukan orang kaya,” katanya. Dia yakin, jika seseorang tak perhitungan dalam sedekah, rezeki yang diberikan Tuhan akan terus mengalir. “Saya yakin istilah inden rezeki. Orang biasanya membayar zakat 2,5 persen dari keuntungan. Saya membaliknya, sebelum ada untung, harus bayar zakat dulu,” ujarnya. “Pokoknya, kalau omzet turun, kita hajar dengan sedekah,” imbuhnya.

Di luar itu Hendy hampir tidak pernah menghambur-hamburkan uang untuk hobi yang tidak jelas. Misal, clubbing di tempat hiburan malam. “Kalau jalan-jalan ke mal, itu rutin. Tapi, saya dan keluarga tidak konsumtif. Paling-paling hanya lihat tren fashion saat ini untuk diterapkan ke bisnis saya. Misalnya, untuk desain pakaian karyawan dan outlet-outlet,” ujar pria kelahiran 30 Maret 1983 itu. Ketika jalan-jalan itu, Hendi tak khawatir dengan roda bisnisnya. “Owner-nya bisa jalan-jalan, yang mantau manajemen di Surabaya dan Jakarta.”

Hendy lebih suka memakai uangnya untuk melebarkan sayap bisnis. Dia yakin bahwa tak boleh ada kata berpuas diri dalam jiwa seorang pebisnis. Dia kini meretas gerai Roti Maryam Aba-Abi, roti khas Timur Tengah. “Sekarang baru 40 outlet, mayoritas masih di Jatim,” kata Hendi yang, bersama aktris Dian Sastro dan Artika Sari Devi, menjadi duta Wirausaha Muda Mandiri tersebut.

Tak hanya itu, insting bisnis yang kuat membawa pria berbadan subur itu mendirikan Baba Rafi Palace. Sudah dua pondokan megah yang disewakan di Surabaya. “Di Siwalankerto, ada 18 kamar dengan tarif Rp 700 ribu per bulan per kamar. Lalu di Prapanca ada 16 kamar, tarifnya Rp 1,2 juta per bulan,” ujarnya.

Satu lini bisnis makanan juga sedang disiapkan Hendy. “Lagi ngerjakan Piramida Pizza. Kalau biasanya pizza ditaruh loyang, ini mau ditaruh di cone. Jadi, makan pizza bisa sambil jalan-jalan, seperti makan es krim,” terang bapak dengan tiga anak itu.

Dia juga bakal berekspansi ke luar negeri. “Di Malaysia saya baru aja bikin Baba Rafi Malaysia Sdn Berhad. Target awalnya mendirikan 25 outlet kebab,” ujarnya.

Dari UKM(elarat) ke UKM(iliaran)
Hendy memulai bisnis dengan terseok-seok. “Tentu tidak langsung bombastis seperti sekarang. Saya harus jatuh bangun, berdarah-darah.” Dia mengisahkan, saat baru dua minggu berjualan kebab dengan satu gerobak di kawasan Nginden, Surabaya, orang yang diajaknya berjualan sakit.

Dari semula berjualan berdua, dia pun memutuskan menunggui gerobaknya seorang diri. “Ndilalah hari itu hujan deras, jadi sepi,” ceritanya. Untuk menghibur diri, hasil jualan hari itu dibelikan makanan di warung sebelah tempat gerobaknya berdiri. “Di sana ada warung sea food. Saat saya membayar, eh ternyata lebih mahal daripada hasil jualan saya. Jadi, malah rugi,” kisahnya.

Hendy memulai bisnis kala berusia 20 tahun. Dia berhenti kuliah di Jurusan Teknik Informatika ITS saat masuk tahun kedua. “Belum sempat di-DO (drop out, Red), saya OD, out dhewe (keluar sendiri, Red),” ujarnya lantas tertawa.

Ibunya yang pensiunan guru dan bapaknya yang bekerja di sebuah perusahaan di Qatar shock melihat keputusan Hendy. “Orang tua saya ingin saya selesai kuliah, lalu kerja di perusahaan. Bukan malah jualan pakai gerobak,” katanya. Namun, Hendi bergeming. “Setelah berhasil, orang tua malah ingin ikut-ikutan berbisnis,” kata ayahanda Rafi Darmawan, 5, Reva Audrey Sahira, 3, dan Ready Enterprise, 1.

Kini bisnisnya terus membesar. Dari hanya satu karyawan, kini perusahaannya mempekerjakan 700 karyawan. “Yang jadi manajemen inti 200 orang. Semuanya lulusan S1 dan S2,” ceritanya, bangga.

Dia mengibaratkan perjalanan bisnisnya dengan dua istilah UKM yang berbeda. “Dulu kami hanya UKM, usaha kecil melarat. Sekarang masih UKM, tapi usaha kecil miliaran,” tuturnya.

Sekarang ada satu mimpi yang bakal diwujudkan tahun ini. “Saya ingin mengajak semua keluarga jalan-jalan ke Eropa.”

sumber : http://www.purdiechandra.net